
Hari ini, 16 Juni, 117 tahun silam, ribuan rakyat Kamang, Sumatera Barat, berperang melawan pasukan Belanda. Mereka bertempur dengan gagah berani, demi menolak pajak yang sangat memberatkan rakyat.
Amanat.news –ย Pertempuran berlangsung selama dua hari, 15 โ 16 Juni 1908. Rakyat Kamang dipimpin oleh dua pejuang berbeda generasi. Seorang anak muda berusia 25 tahun, Kari Bagindo alias Kari Mudo, dan seorang ulama berusia 65 tahun, Haji Abdul Manan.
Perlawanan rakyat Kamang terhadap Belanda tersebut dikenal sebagai Perang Kamang atau Perang Belasting. Sebutan kedua merujuk dari kata belasting yang dalam Bahasa Belanda berarti pajak. Perang ini memang dipicu oleh kebijakan Pemerintah Hindia Belanda menaikkan pajak.
Pada awal abad XX itu, ekonomi dunia mengalami gejolak. Nilai ekspor komoditi dari bumi Nusantara, seperti cengkeh dan kopi, menurun. Padahal, Belanda sedang membutuhkan banyak biaya untuk berperang.
โBelanda sudah melihat bagaimana nilai-nilai ekspor dari hasil bumi Indonesia yang mulai menurun, sehinga mereka membutuhkan dana segar yang harus segera terealisasi dengan cepat, sehingga Belanda mulai menerapkan pajak langsung ini,โ ujar Irwan Setiawan, penulis buku โBau Mesiu: H Abdul Manan dan Perang Kamang 1908โ seperti dikutip VOA.
Belanda menilai, Sumatera Barat yang merupakan tanah para saudagar sebagai daerah yang potensial untuk menambal kebocoran anggaran. Pemerintah Hindia Belanda, dalam hal ini Gouvernement Sumatraโs Westkust, kemudian menetapkan pajak atas harta benda rakyat.
โJadi semua barang-barang, benda-benda, sawah, ladang, semua termasuk binatang juga dan segala macamnya mau dikasih pajak,โ ucap Dr Buchari Nurdin, sejarawan dan dosen purna Universitas Negeri Padang, dikutip dari media yang sama.
Kebijakan tersebut diumumkan pada 21 Februari 1908 dan mulai berlaku 1 Maret 1908. Belanda mengkhianati perjanjian Plakat Panjang (1833) yang mereka tanda tangani untuk mengakhiri Perang Padri. ย Salah satu isi perjanjianย ini, Belanda tidak lagi memungut pajak di tanah Minangkabau.
Rakyat bereaksi, menolak keras kebijakan yang sangat memberatkan itu. Angku Haji Saidi Mangkuto, seorang pedagang dari Pahambatan, mulai mengorganisir perlawanan. Berpegang pada perjanjian Plakat Panjang, Haji Saidi berpendapat seharusnya Belanda hanya memobilisasi perluasan penanaman kopi, bukan menaikkan pajak.
Haji Saidi mengumpulkan para pemimpin nagari, merancang perlawanan. Sayang rencana ini bocor. Pada 22 Maret 1908, Belanda menangkap mereka dan menjebloskannya ke Penjara Bukit Tinggi.
Penangkapan terhadap Haji Saidi dan kawan-kawannya di Pahambatan, bukan membuat rakyat takut. Perlawanan terhadap kebijakan pajak justru menyebar ke berbagai nagari di Sumatera Barat. Mereka menyobek surat edaran pajak, bahkan terlibat bentrok dengan petugas bersenjata.
Para ulama mengagitasi rakyat untuk melawan melalui khutbah dan pengajian. Surau-surau yang tersebar di seluruh penjuru negeri menjadi pusat pendidikan perlawanan. Rakyat juga mempersiapkan diri dengan berlatih beladiri.
Puncak dari protes dan perlawanan tersebut meledak di Kamang, Kabupaten Agam.ย Kari Mudo mengajak rakyat Kamang untuk menentang kebijakan pajak itu. Pada 15 Juni rakyat Kamang berkumpul, siap berjihad. Haji Manan menyampaikan pidato yang membakar semangat rakyat.
Belanda kemudian mengirimkan pasukan elit mereka, Marechaussee (marsose), dari Benteng Fort de Kock. Rakyat tak takut. Kedatangan serdadu Belanda mereka sambut dengan senjata seadanya. Pada 15-16 Juni itu, Perang Belasting atau Perang Kamang meletus, dengan menimbulkan korban besar di pihak rakyat.
Haji Manan gugur tertembak, begitu pula Kari Mudo dan ratusan rakyat Kamang lainnya.ย Meski begitu, perlawanan terhadap pajak kolonial bukan berarti berhasil dipadamkan. Api perlawanan terus berkobar dan menyebar ke tempat lain.
Rakyat Kamang dan Sumatera Barat secara umum juga tetap menolak membayar pajak. Upaya pemaksaan tidak membuahkan hasil, karena hasil panen dibawa diam-diam oleh para saudagar ke Pekanbaru dan Singapura.
โPajak itu akhirnya tidak jadi dikenakan karena perlawanan rakyat, digagalkan Belanda, daripada mereka harus membunuh semua rakyat,โ ungkap Buchari. HK/Foto: Antara