Amanat.news – Seharusnya minyak goreng (migor) tidak langka. Produksi minyak goreng nasional mencapai 8,02 juta ton per-tahun. Sedangkan kebutuhan hanya sekitar 5,06 juta ton. Masih surplus besar, 2,96 juta ton.

Pernyataan tersebut disampaikan Wakil Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur, Amar Syaifudin kepada amanat.news, Minggu (20/2/2022). Politisi dari Fraksi PAN ini menyebut kondisi kelangkaan minyak goreng ibarat ‘ayam mati di lumbung padi’.

“Aneh kan wong surplus kok langka. Ibarat ayam mati di lumbung padi,” kata Amar

Menurut Amar, kelangkaan salah satu kebutuhan pokok ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengatur tata niaga minyak goreng. Padahal pemerintah, dan pengusaha sawit Indonesia sedang “panen” keuntungan harga global yang melonjak.

“Ironis, karena Indonesia menjadi pemasok utama sekitar 65% sawit dunia. Seharusnya tidak boleh lena untuk menjamin ketersediaan minyak goreng domestik,” ujarnya.

Pemerintah, lanjut Amar, wajib memiliki road-map yang menjamin harga minyak goreng stabil terjangkau.

Ia menjelaskan, dari seluruh perkebunan sawit di Indonesia, sekitar 41% berstatus kebun milik rakyat (termasuk kebun tanah adat). Sementara 53% dikuasai perkebunan besar swasta nasional dan hanya sekitar 6% dikuasai perkebunan negara.

Namun dari seluruh perkebunan tersebut, lebih dari 80% berada di atas tanah negara dengan status Hak Guna Usaha (HGU).

“Sehingga negara memiliki ‘hak kontrol’ terhadap hasil tanah negara,” tegas Amar.

‘Hak kontrol’ penguasaan tanah sesuai amanat konstitusi. Yaittu UUD pasal 33 ayat (3) yang menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat.”

“Maka penyelenggara negara dapat membuat perjanjian dengan pengguna HGU. Yakni memberi jaminan ketersediaan CPO (crude palm oil, minyak sawit, red) untuk kebutuhan dalam negeri,” jelasnya.

Pihaknya, Komisi B DRPD Jawa Timur, mempunyai beberapa saran untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng. Pertama, pemerintah membuat kebijakan wajib Domestic Market Obligation (DMO). Setiap pengusaha perkebunan sawit wajib memasok 20% dari kuota ekspor untuk kebutuhan dalam negeri.

Jika kuota ekspor CPO sebanyak 45 juta ton, maka ketersediaan dalam negeri akan mencapai 9 juta ton CPO. Setidaknya akan diperoleh sebanyak 8 juta-an ton setahun. Seluruh pasar tradisional, dan pusat perbelanjaan modern, akan “dibanjiri” minyak goreng.

“Maka minyak goreng kemasan premium paling bagus dengan harga berkisar Rp 12 ribu per-liter bisa terealisasi,” ungkap politisi PAN yang pernah menjabat Wakil Bupati Lamongan itu.

Kedua, pemerintah juga berkewajiban melaksanakan mandatory Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM.

Pasal 2 ayat (1) PP tersebut menyatakan, “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan kemudahan, pelindungan, dan   pemberdayaan bagi Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.” Pada ayat (2), bentuk kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, adalah pembinaan, dan pemberian fasilitas.

“Terakhir, aparat wajib menginvestigasi stok produksi migor di lima simpul tata niaga migor. Karena seharusnya migor tidak langka. Produksi migor nasional mencapai 8,02 juta ton per-tahun. Sedangkan kebutuhan hanya sekitar 5,06 juta ton. Masih surplus besar, 2,96 juta ton,” pungkas Amar. HK

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *