
Oleh : Agung Supriyanto SH (Anggota Fraksi PAN DPRD Jatim)
Kultur politik Indonesia yang patriarkis membuat upaya memposisikan perempuan pada jabatan politik setara dengan laki-laki masih menemui hambatan. Sebab dalam sistem sosial politik yang menganut tradisi patriarkis peran laki-laki tetap dianggap dominan sebagai pemegang kekuasaan.
Terlebih memposisikan perempuan yang diterima dalam proses penentu kebijakan politik jelas dibutuhkan upaya yang sangat kuat dan penuh tantangan.
Dampak kultur patriarkis tersebut juga membuat politisi perempuan terkungkung dalam bayang-bayang laki-laki. Sehingga konsekuensinya, politisi yang merepresentasikan unsur perempuan jumlahnya jauh dari harapan.
Kendati banyak pihak telah berupaya gigih agar kaum perempuan memiliki peran menonjol di ranah politik, nyatanya belum ada hasil yang optimal.
Rangsangan regulasi sebagaimana dalam UU No 10 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat telah memberi stimulus agar proporsi peran perempuan bisa lebih dioptimalkan dengan menganut pola Zipper System. Yaitu setiap tiga bakal calon terisi sekurang-kurangnya satu perempuan.
Lagi-lagi walau kuota keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen sudah diberlakukan tetap saja belum mencapai angka jangkauan keterpenuhan. Di DPRD Jawa Timur misalnya, dari 120 anggota DPRD, hanya 22 orang anggota perempuan atau keterwakilannya baru kisaran 18,5 persen.
Jumlah tersebut menegaskan bahwa kehadiran perempuan belum menjangkapkan kehendak ambang batas perundang-undangan.
Seabad lebih roh cita-cita R.A Kartini menggugat pengungkungan kultur tersebut dengan kemauan mulia agar peran perempuan tidak ajeg terikat dalam kegelapan intelektual. Kedudukan perempuan didistorsikan dalam konsep ‘Kanca Wingking’ sebatas mengurus isi rumah tangga saja. R.A Kartini gigih berjuang dengan gagasannya menabrak cara pemingitan kiprah perempuan demi kemajuan bangsa.
Api juang R.A Kartini kelak menginspirasi sekaligus menggelorakan sikap generasi perempuan guna merebut hak kesetaraan dengan laki-laki. Saat ini terbukti, kaum perempuan memberi terang, mampu menjalankan kapasitas mengemban jabatan yang strategis di pemerintahan maupun swasta.
Politik dan Perempuan
Dulu, ranah politik seakan hanya menjadi urusan para laki-laki. Peneguhan anggapan ini barangkali menjadi benar lantaran merujuk bahwa dunia politik memang serba dekat dengan kelicikan, abu-abu dan menguras energi besar.
Dalam konteks praktik politik dimetaforakan seperti main selancar. Peselancar bermanufer di atas gelombang tinggi dengan selembar papan selancar. Agar si pelancar dapat survive menunggangi arus ombak, dibutuhkan keseimbangan dengan memainkan laju papan. Jika tidak tangkas, risikonya bakal tenggelam atau ditelan ombak.
Dari perumpamaan permainan selancar tersebut, perempuan perlu mengambil jarak agar kaum yang diidentikan dengan kelembutan dan keindahan ini dapat terhindar dari cakaran politik.
Perkembangannya, mindset masyarakat bergeser. Kalau toh wahana politik memang penuh dengan intrik dan ketegangan, dan jenis permainan dengan menempuh arus gelombang besar, maka justru di situ lah sentuhan peran perempuan sangat diperlukan. Tujuannya apa, agar watak dasar keibuan dari perempuan mampu memberikan nutrisi sikap kelembutan dan penuh kesejukan.
Khofifah Indar Parawansa
Khofifah Indar Parawansa adalah politisi perempuan dari Jawa Timur yang mampu berkiprah selama puluhan tahun lebih dalam kancah perpolitikkan Indonesia.
Diawali menjadi anggota DPR RI, kemudian Menteri Pemberdayaan Perempuan, Menteri Sosial, hingga saat ini menjabat Gubernur Jawa Timur.
Keberlangsungan sebagai politisi hingga mampu bertahan puluhan tahun tentu bukan perkara yang mudah. Tak cukup berbekal intelektual semata, juga diperlukan kecerdasan sosial yaitu kemampuan dalam membangun relasi komunikasi dalam berbagai komponen dan strata.
Bertahannya beliau sebagai politisi pada era Orde Baru dan Reformasi serta amanah menjadi menteri pemerintahan Gus Dur dan Jokowi semakin menguatkan eksistensinya. Bahwa Khofifah Indar Parawansa adalah sosok politisi yang piawai menjaga keseimbangan untuk bersikap sehingga tetap survival.
Selanjutnya, terpilihnya beliau menjadi Gubernur di Jawa Timur, didukung dengan kompleksitas persoalan meliputi ekonomi, sosial, politik, beragam budaya dan agama berikut dengan jumlah penduduk 40 juta lebih tentu sangat disadari bahwa mengelola Jawa Timur tak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak dinamika yang ditempuh dus memakan pikiran serta butuh perhatian lebih.
Belum genap satu tahun berjalan semenjak dilantik, badai pandemi Covid-19 menimpa masyarakat Jawa Timur. Ini tentu semakin menambah persoalan menjadi berlapis-lapis di tengah masyarakat. Ini dimaklumi, mengingat pandemi Covid- 19 eksesnya bukan persoalan kesehatan masyarakat semata yang tergenjet, akan tetapi keseluruhan sendi-sendi kehidupan masyarakat terkontraksi.
Walau demikian atas kesigapan beliau dan terjalinnya kerjasama antar unsur di suprastruktur maupun infrastruktur di masyarakat, dampak Covid-19 berangsur pulih dan tertangani. Indikatornya adalah berbagai indek untuk mengukur kinerja pemerintah daerah mulai membaik, yaitu menyangkut persoalan pertumbuhan ekonomi, pengentasan pengangguran, penekanan angka inflasi dan lainnya.
Barangkali atas prestasi ini figur Khofifah Indar Parawansa dianggap sebagai representasi perempuan di Indonesia yang menduduki top of mind tertinggi. Di berbagai lembaga survei, nama Khofifah masih menjadi favorit sebagai calon gubernur Jawa Timur terkuat mendatang. Bahkan banyak kalangan Parpol berharap Khofifah dapat bergandengan dengan bakal calon presiden di 2024.
Semakin meroketnya sosok Khofifah Indar Parawansa dalam kancah politik nasional dan Jawa Timur membuat ingatan saya tergiring pada ungkapan seorang politisi perempuan yang terkenal dengan tangan besinya yaitu, Margaret Thatcher; ” Bahwa dalam politik jika yang anda inginkan hanya sebuah kata, tanyalah pada seorang pria. Akan tetapi jika anda ingin sesuatu yang dilakukan mintalah pada seorang wanita.”
Ujaran bijak tersebut barangkali yang mendasari apresiasi masyarakat Jawa Timur terhadap Khofifah Indar Parawansa. Bahwa masyarakat tertarik bukan karena kepandaian dalam meramu dan merangkai kata-kata melalui narasinya, tetapi atas kerja nyata yang dilakukan dan telah dirasakan masyarakat Jawa Timur.
Akhir kata, konstelasi politik saat ini yang kian pelik serta kronis, dan di dalamnya didominasi para politisi pria, semoga kehadiran sosok wanita dapat menjadi sosok ibu yang mampu mendekap ego kering politisi pria yang miskin kasih sayang. Sebagaimana ungkapan R.A Kartini “bahwa seorang yang mengorbankan untuk orang lain dengan segala rasa yang ada dalam hatinya, dengan segala bakti yang diamalkan, itulah perempuan yang patut disebut ‘IBU’ dalam arti yang sebenarnya”.
Selamat Hari Kartini, harum Ibu pertiwi. Wassalam.