
Amanat.news – Lahirnya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang dibidani Golkar, PAN, dan PPP telah memantik respon kritis dari banyak pihak. Ada yang setuju ada yang kontra.
Menurut peneliti The Republic Institute, Dr. Sufyanto, munculnya respon kritis tersebut, menandakan bahwa lahirnya KIB memiliki nilai yang strategis.
“Lahirnya KIB bisa dimaknai sebagai pilihan yang cerdas dan strategis. Sebab ada beberapa alasan KIB merupakan koalisi yang sangat menjanjikan sebagai spirit ide maupun sebagai rumah perjuangan politik secara bersama-sama,” kata Sufyanto seperti ditulis dalam laman facebook-nya.
Alasan pertama, KIB yang digagas oleh Golkar (85 Kursi), PAN (44 Kursi) dan PPP (19 Kursi) memiliki total 148 kursi di parlemen. Secara kekuatan politik di parlemen, jumlah kursi tersebut telah cukup untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden di 2024 nanti. Atau telah melampaui 20 persen kursi di parlemen sesuai persyaratan presidential threshold.
“Dan bila dibaca berdasarkan basis konstituen masing-masing pemilih partai, tentu sangat ideal, Golkar dengan basis konstituen nasionalis-moderatnya, PAN dengan konstituen masyarakat muslim modernisnya, dan PPP dengan konstituen masyarakat muslim tradisionalisnya,” lanjut Sufyanto.
Alasan kedua, KIB telah menjalar ke daerah sebagaimana pembicaraan tindak lanjut yang dilakukan oleh tokoh-tokoh partai tersebut di Jawa Timur. Menurut Sufyanto, ini adalah fenomena baru, karena selama ini koalisi partai hanya berhenti di level elit di pusat dalam Pilpres.
“Tidak sampai di tingkatan lokal, dalam Pilkada misalnya. Seringkali dijumpai koalisi di pusat tetapi di daerah menjadi lawan politik. Kalau KIB bisa menatanya sampai lokal tentu ini fenomena baru politik yang sangat menjanjikan,” ujar akademisi yang dikenal dengan panggilan Sufy itu.
Laki-laki yang juga dikenal sebagai konsultan politik itu menjelaskan, koalisi merupakan tindakan politik konstitusional. Secara khusus spiritnya diatur oleh regulasi dalam mencalonkan eksekutif dalam proses pemilihan umum, baik untuk presiden, gubernur, bupati dan walikota.
Untuk Presidential Threshold diatur dalam pasal 222 Undang-Undang 7 tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Sementara untuk Pemilihan Kepala Daerah diatur dalam pasal 40 Undang-Undang 16 Tahun 2016 Perubahan Kedua untuk Pemilhan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Munculnya KIB, kata Sufy, semakin membuka peluang lahirnya pasangan Capres/Cawapres lebih dari dua pasangan. Sehingga Indonesia terhindar dari politik pembelahan akibat mengkristalnya dukungan masing-masing Capres/Cawapres seperti saat ini.
“Sebab bila dilihat dari kekuatan kursi di parlemen hanya PDIP (128 Kursi) yang dapat mengajukan pasangan Capres/Cawapres tanpa harus koalisi. Selebihnya masih harus membangun koalisi,” ujarnya.
Selain Golkar, PPP, dan PAN, partai yang harus berkoalisi agar bisa mengajukan pasangan Capres/Cawapres adalah Gerindra (78 Kursi), NasDem (59 Kursi), PKB (58 Kursi), Demokrat (54 Kursi), dan PKS (50 Kursi). Mereka harus mencapai syarat minimal 115 Kursi di parlemen.
Dari Peta kekuatan parpol di parlemen tersebut masih membuka ruang munculnya koalisi baru untuk melahirkan pasangan Capres/Cawapres. Sehingga dimungkinkan akan lahir sekurang-kurangnya tiga pasangan Capres/Cawapres untuk berkontestasi dalam Pemilu 2024.
“Karena itu, jangan tabu dalam politik untuk menyikapi soal koalisi, sebab berkoalisi itu dibenarkan dan dianjurkan oleh regulasi, untuk melahirkan pemimpin-pemimpin yang berintegritas,” pungkas Sufy. HK