Amanat.news – Pada saat-saat tertentu, banyak orang bermujahadah di masjid yang berlokasi di Kelurahan Taman, Kecamatan Taman, Kota Madiun, Jawa Timur, ini. Terutama pada tanggal-tanggal ganjil Bulan Ramadhan, yaitu waktu yang diyakini sebagai turunnya Lailatul Qadar.

Pada saat itu, puluhan hingga ratusan orang, ber-i’tikaf (duduk berdiam diri di masjid) dari tengah malam hingga mendekati waktu subuh. Mereka bukan hanya warga sekitar, sebagian besar justru jamaah dari luar kota.

“Bila khusyuk i’tikaf di masjid ini, berbagai persoalan hidup insyaallah akan mendapat jalan terang, bila sakit akan mendapat kesembuhan,” ungkap Sya’roni, warga Nganjuk, yang sore itu datang bersama dua rekannya.

Masjid Gede Taman dibangun sekitar 1725 M atau pada masa peralihan dari Bupati Madiun ke-12, Tumenggung Surowidjojo (1709-1725 M) ke bupati ke-13, Pangeran Mangkudipuro (1725-1755 M).

“Berdirinya masjid sebagai barometer penyiaran Agama Islam di wilayah Mataram sebelah timur Gunung Lawu,” jelas tokoh masyarakat Taman, R. Sukopranowo, kepada wartawan media ini beberapa waktu lalu.

Seperti masjid-masjid tua lainnya, Masjid Gede Taman juga memiliki beberapa daya tarik dan keistimewaan. Di sini terdapat arsitektur unik yang tetap dipertahankan hingga sekarang. Melihat dan memasuki masjid, nuansa Jawa dalam arsitekturnya sangat terasa.

Berbentuk joglo, atap sirapnya yang bersusun tiga, mengingatkan pada arsitektur Masjid Demak. Dari serambi, ruang dalam, hingga atap bersusun tiga itu, masing-masing memiliki filosofi yang menggambarkan tingkat keimanan manusia.

“Dari tingkat syari’at, tariqat, hakikat, hingga ma’rifat,” kata Sukopranowo.

Bangunan joglo disokong oleh empat tiang utama berbahan kayu jati, yang disebut soko guru. Balok-balok joglo yang juga terbuat dari kayu jati, dihias dengan ukir-ukiran bemotif relung.

Terutama di waktu malam ramadhan banyak orang dari luar kota beriktikaf di Masjid Gede Taman.

“Ukir-ukiran ini juga memiliki makna, yaitu menggambarkan relung-relung kehidupan, sejak dunia dan isinya diciptakan,” imbuh Sukopranowo.

Di belakang masjid terdapat areal pemakaman, tempat peristirahatan terakhir Bupati Madiun ke-14 Raden Ronggo Prawiro Sentiko dan keturunannya. Persis di belakang pengimaman merupakan makam Kyai Ageng Misbach, ulama yang ikut membantu pembangunan makam.

Oleh penguasa Kraton Yogyakarta Hadiningrat, Sultan Hamengkubowono I, makam tersebut diangkat statusnya setaraf dengan makam keluarga raja di Imogiri. Padahal, menurut Suko, areal makam sebenarnya akan digunakan untuk membangun pendopo kabupaten.

“Namun setelah melakukan sebuah ritual, mereka berdua merasai bahwa tanah yang akan digunakan itu berbau harum. Mereka pun sepakat lebih baik areal itu digunakan sebagai makam,” paparnya. HK

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *