Oleh Ahmad Rizki Sadig *
Di tengah penanganan bencana banjir di Sumatera, ruang publik kembali dipenuhi silang opini yang membawa nama Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan pada periode 2009–2014.
Sejumlah tudingan mengaitkan bencana hidrometeorologi tersebut dengan kebijakan lama sektor kehutanan. Namun, jika dicermati lebih dalam, sebagian besar klaim tersebut tidak bertumpu pada rangkaian data kebijakan dan indikator tata kelola lingkungan pada periode tersebut.
Kawasan hutan sejak lama menjadi instrumen penting dalam strategi pembangunan nasional. Pemerintah memandang perizinan kehutanan bukan sekadar prosedur administratif, melainkan alat untuk menyeimbangkan manfaat ekonomi, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam kerangka RPJPN, perizinan kawasan hutan diarahkan untuk mendukung investasi, menyediakan lapangan kerja, dan memastikan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Reformasi Pengawasan
Saat menjabat Menteri Kehutanan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Pak Zul (Zulkifli Hasan) menerapkan sejumlah terobosan. Salah satunya adalah digitalisasi dan percepatan perizinan berbasis daring dengan pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi. Langkah ini dilakukan untuk menutup celah korupsi dan memperkuat transparansi.
Pemerintahan SBY pada periode tersebut juga mencatat perbaikan dalam ketimpangan penguasaan lahan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, gini rasio lahan tahun 2013 berada di angka 0,68, menurun dari 0,72 pada 2003. Indikator ini digunakan sebagai salah satu ukuran efektivitas perbaikan tata kelola agraria, termasuk sektor kehutanan.
Pro Poor, Pro Growth, Pro Environment
Dalam visi pembangunan Presiden SBY yang menekankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan kelestarian lingkungan, Kementerian Kehutanan kemudian mencanangkan sejumlah program strategis.
Beberapa di antaranya:
- Program Penanaman 1 Miliar Pohon per Tahun, yang melibatkan masyarakat, pemerintah daerah, korporasi, hingga TNI.
- Skema Perhutanan Sosial bagi masyarakat desa hutan, masyarakat adat, dan kelompok lokal lainnya untuk memperkuat akses dan kesejahteraan.
- Renstra “Hutan Lestari untuk Kesejahteraan Masyarakat yang Berkeadilan”, yang menampilkan keseimbangan antara perlindungan hutan dan pemberdayaan ekonomi.
Salah satu regulasi penting pada masa itu adalah PP No. 10/2010, yang mewajibkan pelaku usaha pertambangan dan perkebunan menyiapkan lahan reboisasi di luar konsesi dengan rasio 1:2. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memastikan pemulihan ekosistem hutan tetap berjalan meski aktivitas ekonomi berlangsung.
Program Partisipatif
Pada 2010–2013, Kementerian Kehutanan juga memperluas pendekatan edukatif. Program Kebun Bibit Rakyat (KBR) dipermudah perizinannya dan dimasukkan dalam anggaran tahunan untuk mendukung kemandirian bibit di tingkat desa.
Program Hutan Edukasi melibatkan pelajar dan mahasiswa dalam observasi dan penanaman pohon di kawasan hutan.
Menjelang akhir masa jabatannya, melalui kerja sama dengan Garuda Indonesia, Kementerian Kehutanan merilis program OTOT (One Ticket One Tree)—satu tiket penerbangan setara satu pohon yang ditanam.
Validasi Institusional
Sejumlah penghargaan diterima Zulkifli Hasan sepanjang masa jabatannya, antara lain:
- Tokoh Perubahan Republika 2010, atas upaya memerangi penebangan liar dan menggalakkan penghijauan.
- Lifetime Achievement Award Indonesia Green Award 2014, atas kontribusi terhadap pelestarian lingkungan.
- Bhumandala Award 2014, atas implementasi informasi geospasial kehutanan.
- Tiger Champion Award 2014, dari Panthera atas komitmen menjaga populasi harimau Sumatra.
- Bintang Jasa Mahaputra Adipradana, penghargaan kenegaraan atas jasa besar dalam pembangunan kehutanan nasional.
Narasi yang Dibengkokkan
Dalam konteks banjir Sumatera belakangan ini, narasi serangan politik yang mengaitkan bencana dengan kebijakan masa lalu sering kali muncul tanpa mengurai faktor penyebab aktual.
Padahal, penanganan banjir merupakan persoalan multidimensi yang melibatkan lintas stakeholder, tidak sesederhana menunjuk satu orang.
Pengamat kehutanan menilai bahwa penggiringan opini yang menyasar figur tertentu berisiko menjauhkan publik dari perdebatan substantif mengenai tata kelola lanskap, pemulihan daerah aliran sungai, dan efektivitas pengawasan pemerintah daerah.
Dalam situasi seperti ini, kebijakan kehutanan perlu ditempatkan dalam konteksnya: sebagai bagian dari kerangka pembangunan jangka panjang yang melibatkan banyak periode pemerintahan, banyak aktor, dan banyak variabel lingkungan.
Mengembalikan Fokus
Pada akhirnya, perdebatan tentang siapa yang paling layak disalahkan tidak akan mengeringkan genangan, tidak akan mengobati trauma, dan tidak akan mengembalikan rumah yang hilang. Saat ini, prioritas terbesar kita bukan memperluas panggung politisasi, melainkan memastikan korban mendapatkan bantuan yang cepat, tepat, dan manusiawi.
Fokus berikutnya adalah memperkuat mitigasi bencana—mulai dari tata kelola ruang, penegakan hukum, hingga koordinasi lintas lembaga—agar tragedi serupa tidak terus berulang. Banjir ini seharusnya menjadi pengingat bahwa bencana adalah urusan bersama. Dan justru dalam masa-masa inilah kedewasaan politik diuji: apakah kita memilih membangun solusi, atau terus-menerus mempertahankan narasi yang tidak menyelamatkan siapa pun.
Kini saatnya energi publik dikembalikan ke yang paling penting: menolong yang terdampak dan memperbaiki sistem yang selama ini rapuh.//
*) Ketua DPW PAN Jawa Timur – Anggota DPR RI Fraksi PAN
