
Makanan khas Tuban hasil akulturasi budaya Arab dan Jawa ini hanya ada di bulan Ramadan. Pada masa penjajahan Belanda, ia pernah menjadi solusi menghadapi krisis pangan yang berkepanjangan.
Amanat.news – Ada yang menarik dari akun instagram @khofifah.ip milik Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa. Dua hari lalu, orang nomor 1 di Jatim ini mengunggah foto puluhan orang yang sedang mengantre bubur muhdor.
“Menjelang berbuka, ada satu kuliner legendaris yang selalu dinanti di Tuban: Bubur Muhdor. Hadir hanya saat Ramadan, bubur kaya rempah ini sudah ada sejak 1937 dan diwariskan turun-temurun hingga sekarang,” demikian penggalan keterangan yang menyertai foto tersebut.
Bubur muhdor memang muncul hanya saat bulan Ramadan. Namanya diambil dari nama Masjid Muhdor, masjid tua yang ada di Kampung Arab, Kelurahan Kutorejo, Kecamatan Tuban, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Di masjid tersebut, menurut beberapa sumber, memasak bubur muhdor sudah menjadi tradisi sejak 1937. Konon, pada masa penjajahan Belanda itu, bubur muhdor dibuat untuk menyiasati krisis pangan yang berkepanjangan.
Bukan hanya jasa sosialnya, sejarah kehadiran bubur muhdor juga kental dengan aroma akulturasi. Pembauran budaya yang memperkaya tradisi lokal, khususnya di bidang kuliner.
Bermula dari seorang ulama keturunan Arab, Syeikh Habib Abdul Qodir bin Alwi Assegaf, makanan ini kemudian dikenal. Ia memadukan daging kambing dan rempah-rempah bumbu gulai khas Timur Tengah dengan beras dan santan kelapa.
“Dibuat di Masjid Muhdor, Kelurahan Kutorejo, Tuban, bubur ini berbahan dasar beras, bumbu gulai, santan, dan daging kambing, menghasilkan cita rasa khas yang selalu jadi rebutan warga,” lanjut Khofifah dalam caption fotonya.

Bahan-bahan tersebut dimasak dengan kuali besar di atas tungku atau kompor selama 2 hingga 3 jam. Hasilnya, sebuah kuliner akulturasi berwujud bubur beras yang memiliki tekstur lembut dan cita rasa gurih sedap.
Cita rasa lezat itulah yang membuat kuliner legendaris ini selalu memantik antusiasme masyarakat. Setiap jelang waktu berbuka puasa, ratusan orang rela mengantre berjam-jam demi mendapat takjil gratis berupa bubur muhdor.
Menurut salah satu remaja Masjid Muhdor, Alwi Ba’agil, bubur muhdor bukan sekadar sajian untuk berbuka puasa. Ia telah menjadi tradisi yang diwariskan secara turun-temurun sebagai simbol kebersamaan.
“Dulu kalau mau buat bubur ini harus iuran tidak seperti sekarang. Sudah ada investornya,” kata Alwi seperti dikutip detikcom, Rabu (5/2/2025).
Dari sejarahnya, bubur muhdor yang diwariskan dari generasi ke generasi mencerminkan semangat berbagi dan kepedulian sosial. Menjadi sarana menjaga kebersamaan dan mempererat ikatan sosial dalam masyarakat.
Sampai sekitar 1970-an, bubur muhdhor hanya dibagikan untuk masyarakat kurang mampu dengan cara diantarkan dari rumah ke rumah. Namun setelah itu, bubur muhdhor bisa dinikmati oleh masyarakat secara luas.
“Semoga tradisi ini terus lestari, menghangatkan kebersamaan di bulan suci. Selamat menanti waktu berbuka,” tutup Khofifah dalam keterangan fotonya. HK/Foto: beritabaru.co