
Oleh : Christanto Wahyu*
Amanat.news – Ojo kagetan, ojo gumunan, ojo aleman! Falsafah Jawa yang sering dikutip oleh Ketua DPW PAN Jawa Timur, Ahmad Rizki Sadig, saat bertatap muka dengan Kader PAN di beberapa tempat di Jawa Timur ini sepertinya relate untuk menggambarkan bagaimana sebaiknya kita bersikap terhadap segala hal yang ada di media sosial belakangan ini.
Kita tahu bahwa lanskap komunikasi telah berubah sangat drastis dengan adanya transformasi digital. Banyak perombakan pada cara kita berinteraksi sosial, berperilaku politik, menjalankan profesi dan dalam merespon isu atau mengonsumsi informasi yang bersliweran tanpa henti di sekeliling kita.
Apakah informasi tersebut benar-benar akurat? Ataukah kita hanya terjebak dalam dunia informasi bias yang secara selektif ditampilkan untuk mengonfirmasi apa yang sudah kita percayai? Teori *hyperreality* oleh Jean Baudrillard bisa memberikan perspektif yang relevan untuk memahami fenomena ini.
Baudrillard menggambarkan *hyperreality* sebagai kondisi di mana kita tidak lagi dapat membedakan antara apa yang nyata dan yang hanya tampak seperti kenyataan.
Dunia yang kita lihat, dengan segala informasi yang datang kepada kita melalui media sosial dan teknologi digital, sering kali bukanlah gambaran nyata dari dunia itu sendiri, melainkan sebuah konstruksi atau simulasi yang diciptakan oleh algoritma dan teknologi digital.
Dalam konteks informasi digital, kita sedang berada dalam dunia informasi yang terdistorsi, di mana yang tampak seperti kenyataan belum tentu mewakili kenyataan itu sendiri.
Teknologi seperti *deepfakes*โvideo atau gambar palsu yang begitu mirip dengan yang asliโdan konten yang sengaja diolah atau diseleksi untuk menarik perhatian, semakin mengaburkan realitas.
Dalam dunia yang penuh dengan simulasi ini, informasi bisa menjadi sesuatu yang sangat bias, hanya mencerminkan satu sisi cerita yang tidak lengkap.
Sebagai contoh, media sosial, dengan algoritma yang disematkan di dalamnya, cenderung menyajikan konten yang sesuai dengan preferensi kita, memperkuat apa yang sudah kita yakini sebelumnya. Berita yang muncul di linimasa kita, apakah itu tentang politik, kesehatan, atau peristiwa terkini, sering kali dipilih berdasarkan kesesuaiannya dengan pandangan pribadi kita, bukan didasarkan pada kebenaran objektif.
Kondisi itu, biasa disebut juga sebagai “filter bubble,” sebuah istilah yang merujuk pada situasi di mana kita hanya terpapar pada informasi yang menguatkan pandangan atau kepercayaan yang sudah ada, sementara kita semakin terisolasi dari informasi yang bertentangan.
Dalam tranformasi digital saat ini, informasi bias tersebut ternyata bisa juga datang dari konten yang terlihat sah atau professional. Konten-konten ini sudah melalui proses penyaringan atau modifikasi yang membuatnya lebih “tampak” benar, meskipun belum tentu valid.
Bagi netizen, segala sesuatu yang “tampak” benar lebih sering dianggap sebagai kenyataan. Misalnya, video viral atau meme yang seringkali dikutip sebagai bukti kuat dalam sebuah diskusi, meskipun tidak ada verifikasi yang memadai mengenai kebenarannya.
Di sinilah hyperreality berperan besarโ seseorang menjadi lebih cenderung mempercayai apa yang ia lihat, meskipun itu mungkin adalah sesuatu yang diciptakan atau dibentuk agar terlihat seperti kenyataan.
Peran Kader PAN
Oleh karena itu, penting bagi setiap kader partai untuk selalu memiliki kesadaran dan keterampilan dalam mengelola informasi yang mereka terima atau bagikan di platform digital.
Dalam hal ini, adaptasi terhadap transformasi digital bukan hanya soal memahami teknologi, tetapi juga tentang membangun kapasitas untuk bisa menyaring informasi dengan bijak, serta mengedepankan pertimbangan rasional yang diperoleh dari dialog untuk saling konfirmasi .
Karena itu, kader PAN dituntut untuk โojo kagetanโ. Harus bisa menjaga ketenangan dalam menghadapi informasi yang datang dengan cepat, apalagi jika itu berkaitan dengan masalah internal partai. Jangan mudah terpancing oleh berita yang bersifat provokatif atau yang berpotensi membangkitkan emosi. Sebagai kader, harus memiliki kecakapan untuk selalu menyaring dan memastikan kebenaran informasi sebelum bertindak atau merespons.
Pada saat yang bersamaan, kader PAN juga dituntut memiliki kecakapan dan keberanian untuk menyampaikan kebenaran, menjelaskan secara jelas dan tegas apa yang sebenarnya menjadi fakta, terutama ketika arus informasi yang beredar bersifat negatif yang merugikan citra dan eksistensi partai.
Karena membiarkan arus informasi negatif yang beredar tanpa klarifikasi justru bisa menjadi ancaman bagi reputasi partai. Kader harus proaktif, bukan hanya menanggapi isu yang ada, tetapi juga ikut serta dalam mematahkan misinformasi, menciptakan narasi yang benar, sesuai dengan nilai dan prinsip yang dipegang PAN.
Ojo gumunan! Falsafah ini mengajarkan kader PAN untuk tidak mudah terkesan atau terpesona oleh perkembangan atau peristiwa tertentu, terutama yang terjadi di dunia maya.
Perkembangan informasi dan berita atau hasil survei yang cepat sering kali bisa menipu kita dengan angka-angka yang tampak meyakinkan, namun belum tentu merepresentasikan keseluruhan realitas. Sebagai kader partai, kita harus bijak dan tidak terbuai oleh tren atau opini publik yang dibentuk oleh media. Kita harus bisa mempertimbangkan apakah suatu berita atau peristiwa benar-benar memiliki relevansi dan dampak jangka panjang maupun pendek terhadap partai atau tidak.
Ojo Aleman! Dalam dunia yang penuh dengan berita dan opini yang beragam, kita sering kali merasa terprovokasi atau terbawa perasaan. Falsafah ini mengajarkan kita untuk tidak terbawa emosi dalam merespons berita atau peristiwa. Kadang, sebuah berita yang mengejutkan atau menyentuh emosi bisa membuat kita bertindak tanpa berpikir panjang. Kader haruslah memiliki kontrol diri yang kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh perasaan sesaat. Respon yang didorong oleh emosi bisa memperburuk keadaan dan merusak citra partai.
Pada intinya, Ojo kagetan, ojo gumunan, ojo aleman, memberitahu kita agar tak gampang terpancing oleh narasi-narasi di era tranformasi digital yang ternyata lebih banyak didominasi oleh narasi yang mengedepankan emosi daripada yang rasional. Menjaga kader PAN, agar tetap mengedepankan respon otak dibanding respon emosi.
//*media center PAN Jawa Timur