Amanat.news – Hari ini 192 tahun lalu, Pangeran Diponegoro tiba di tempat pengasingannya yang baru, Makassar. Dua puluh lima tahun ditahan di Fort Rotterdam, Sang Pangeran menghasilkan dua naskah sejarah Jawa.
Pada 11 Juli 1833, Pangeran Diponegoro, tiba di Fort Rotterdam, Makassar, setelah melalui perjalanan laut selama 21 hari dari Manado. Bersama Diponegoro, turut Raden Ayu Ratu Ratna Ningsih, istrinya, Raden Mas Kindar atau Raden Mas Abdurrahman, putranya yang baru berusia 18 bulan, dan 23 orang pengikutnya.
Mengutip tulisan Lilik Suharmaji, pendiri PUSAM (Pusat Studi Mataram), di netralnews.com, perjalanan pemindahan Diponegoro sangat dirahasiakan oleh Gubernur Jendral van den Bosch. Bahkan, Residen Manado, Cambier, tidak mengetahui tujuan Diponegoro dipindahkan.
“Cambier hanya dikabari bahwa Sang Pangeran menuju Ternate. Kapten kapal saja hanya diberi intruksi agar menuju Makassar, setelah lepas dari Pelabuhan Manado,” tulis Suharmaji.
Di bawah pengawalan ketat, Diponegoro dibawa menggunakan kapal bernama Circe. Sesampai di Makassar, para awak kapal disumpah agar menjaga rahasia, dilarang menyebut pelayaran itu dalam surat-surat mereka, baik kepada kerabat maupun teman.
“Hal ini dengan tujuan jika Inggris benar-benar menguasai Manado, maka tidak ada yang membocorkan jika Diponegoro dipindahkan ke Makassar,” lanjut Suharmaji.
Perseteruan Belanda dengan Inggris, memang menjadi salah satu sebab Diponegoro harus dipindah dari Manado. Situasinya, posisi Belanda tidak begitu kuat di daerah yang berada di ujung utara Celebes tersebut.
Inggris lebih bisa diterima dengan tangan terbuka oleh penguasa dan penduduk lokal. Saat Inggris berkuasa di Manado dan Minahasa pada 1811-1817, mereka memperlakukan penduduk dengan sangat baik, bahkan sering memberikan hadiah kepada pengusa setempat.
Benteng Neuw Amsterdam, tempat Diponegoro ditahan, juga hanya dijaga oleh 40 serdadu. Bila terjadi pertempuran, kemungkinan besar Belanda akan kalah karena Inggris pasti dibantu ribuan orang Manado dan Minahasa.
Situasi seperti itu yang sangat dihindari oleh Belanda. Muncul kekhawatiran, di tengah hawa pertempuran, roh kepemimpinan Pangeran Diponegoro akan muncul kembali untuk melakukan perlawanan.
Akhirnya, atas kesepakatan dengan Pietermaat, pejabat khusus yang menangani evakuasi Diponegoro, Van den Bosch memutuskan memindahkan Diponegoro ke Makassar. Selain aman dari kekuatan Inggris, Makassar juga memiliki benteng cukup besar yang dapat menampung ratusan serdadu.
Setibanya di Makassar, Pangeran Diponegoro dan keluarganya dijaga lebih ketat. Pangeran dan keluarganya ditahan di ruangan perwira dekat dengan pos jaga utama di sudut tenggara benteng.

Beberapa waktu lalu, wartawan media ini sempat berkunjung ke Fort Rotterdam. Sayang, saat itu bangunan berdinding melengkung dan sangat kokoh tempat Pangeran Diponegoro ditahan, sedang dikunci.
Kesan kelam seperti pernah dirasakan Sang Pangeran saat menjalani hari-hari panjang penahanannya, kuat terasa. Aura mistis, juga memancar dari gedung ini, sama seperti yang dipancarkan setiap sudut benteng yang lokasinya tak jauh dari Pantai Losari itu.
Pangeran Diponegoro menjalani 25 tahun masa penahanan di Fort Rotterdam. Ia meninggal dunia pada 8 Januari 1855 dan dimakamkan di sebuah tempat yang sekarang berada di wilayah Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, Kota Makassar.
Selama ditahan di Fort Rotterdam, Pangeran Diponegoro cukup produktif menulis naskah sejarah. Dia menghasilkan dua karya, Sejarah Ratu Tanah Jawa dan Hikayat Tanah Jawa yang keduanya ditulis menggunakan huruf arab pegon. HK
