Amanat.news – Sumenep, sebuah kabupaten di ujung timur Pulau Madura, dianugerahi potensi wisata yang luar biasa. Dari keindahan alam, seni budaya, hingga peninggalan-peninggalan kuno yang masih terjaga kelestariannya.
Di antara peninggalan-peninggalan kuno tersebut berupa masjid-masjid berusia ratusan tahun yang tersebar di hampir seluruh pelosok wilayah ini. Salah satunya adalah Masjid Agung atau Masjid Jami’ Sumenep.
“Masjid Jami’ Sumenep dibangun sekitar 1779 Masehi. Banyak nilai filosofis yang dilambangkan lewat bentuk bangunan maupun ornamen-ornamen di dalamnya,” jelas salah seorang penyusun buku ‘Sejarah Sumenep’, Edhi Setiawan (alm), kepada media ini beberapa waktu lalu.
Misalnya pintu masuk berjumlah sembilan yang melambangkan jumlah lubang dalam tubuh manusia. Kemudian, pagar tembok mengelilingi masjid yang dimaksudkan agar jamaah lebih konsentrasi menunaikan sholat dan mendengar khotbah.
Pintu gerbang masjid berbentuk gapura yang berasal dari bahasa Arab ‘hafura’, berarti masuk tempat pengampunan Allah. Di gapura bagian atas terdapat dua lubang terbuka yang melambangkan dua mata manusia sedang melihat.
Di bagian atas gapura tersebut juga terdapat dua pintu kanan-kiri sebagai lambang telinga manusia. Sementara sekeliling gapura diukir berbentuk rantai, melambangkan persatuan umat Islam.
Di halaman masjid ada pohon sabu (bahasa Madura pohon sawo), dan pohon tanjung. Bila diurai, sabu adalah gabungan dari kata ‘sa’ yang berarti sholat dan ‘bu’ dari idiom Madura jha’ bu-ambu. Sementara tanjung adalah penyatuan dari kata ‘tan’ dan ‘jung’, tandha dan ajhungjhung.
“Kata-kata itu mengandung makna “shalat ja’bu-ambu, tandha ajungjung tenggi kegiatan Agama Allah” (Sholat lima waktu jangan ditinggalkan, sebagai tanda menjunjung tinggi Agama Allah),” papar Edhi.
Daya tarik lain Masjid Jami’ terdapat pada arsitekturnya yang menggabungkan beberapa unsur budaya. Pertama, pada tigabelas pilar raksasa model doria yang menjadi penopangnya.
Kemudian gapura berwarna putih kuning yang sekilas mirip bangunan bergaya Eropa. Banyak pendapat menyebut gapura besar itu dipengaruhi oleh budaya Portugis.
Uniknya, pada gapura bergaya Portugis itu, terdapat corak arsitektur kelenteng di bagian paling atas bangunan. Yaitu ujung atap yang ditarik melengkung sedikit ke dalam. Ada yang berpendapat, bentuk puncak atap tersebut mirip tempat pembakaran abu di kelenteng-kelenteng.
Berbeda dengan arsitektur kubah masjid gaya Timur Tengah yang berbentuk setengah lingkaran, kubah gapura Masjid Agung Sumenep berbentuk pagoda. Akulturasi juga bisa dilihat pada kolom-kolom berbentuk busur gaya Eropa yang dipadu dengan bentuk memolo atau mahkota gaya Tionghoa.
Bila budaya Tionghoa mewarnai corak arsitektur Masjid Agung Sumenep, ini tak lepas dari arstiteknya. Yaitu seorang peranakan Tionghoa bernama Lauw Pia Ngo. Ia adalah cucu dari Lauw Khun Ting, seorang pelarian dari Semarang setelah meletusnya “huru-hara Tionghoa” 1740.
Selain budaya Tionghoa, pengaruh budaya Arab juga sangat kuat yang bisa dilihat pada lukisan-lukisan mosaik di dalam masjid. Pengaruh Arab dan Persia terlihat pula pada kubah kecil di puncak bangunan di sudut kanan-kiri halaman masjid.
Sementara budaya lokal Madura terwakili pada warna kuning yang mencerminkan suatu kebesaran, keagungan, dan martabat seseorang. Warna tersebut dapat dihubungkan dengan budaya orang Madura yang sangat bangga bila memakai perhiasan besar dari emas.
“Ada pula pengaruh Jawa, yaitu pada bangunan bersusun menjulang tinggi menyerupai candi, serta kubahnya yang berbentuk tajuk,” pungkas Edhi. HK.